PDF Google Drive Downloader v1.1


Báo lỗi sự cố

Nội dung text Chris Wibisana - Mahasiswa sebagai Agen Perubahan: Kebangkitan Mitos di Era Digital.pdf

54 Prisma, Vol, 42, No. 2, 2023 T O P I K T O P I K arasi seputar kontribusi dan partisi- pasi orang muda sepanjang sejarah Indonesia nyaris tak terhitung ba- nyaknya,1 baik diukur menurut perulangan dan pandangan seputar motif serta impresi kepahlawanan yang konkret maupun yang di- besar-besarkan. Reproduksi terhadap narasi tersebut berangsur-angsur mengonstruksi- kan suatu posisi khusus orang muda dalam masyarakat Indonesia, serta ekspektasi peran yang harus dijalankan. Secara tradisional, orang muda merepresentasikan kepemim- pinan di saat-saat kritis2 serta penentang ke- tidakadilan dan ketidakbenaran.3 Karena itu, tidak mengherankan bila ragam ekspektasi tersebut beresonansi dengan pembentukan identitas orang muda yang romantis, bahkan hingga batas tertentu memicu optimisme de- lusional. Salah satu fragmen sejarah kontem- porer Indonesia yang memberi “halaman” tersendiri berkait peran orang muda adalah Reformasi 1998. Sebagai konteks, fragmen tersebut menggambarkan peranan orang muda terpelajar, yang dimobilisasi melalui gerakan mahasiswa, menuntut Orde Baru menyerahkan kedaulatan kembali ke tangan rakyat sesuai amanat konstitusi. Dalam kompleks hero-worship yang pekat, mobilisasi mahasiswa dalam fragmen Refor- masi 1998 dikonfigurasikan sebagai pengam- bil prakarsa sekaligus determinan yang ber- hasil mendesak Soeharto mengundurkan diri dari jabatan kepresidenan.4 Bahasa yang se- Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan: Kebangkitan Mitos di Era Digital* Chris Wibisana Kecenderungan gerakan mahasiswa kontemporer meromantisasi Reformasi 1998 telah mencip- takan penilaian yang dangkal dan parsial tentang reformasi secara umum serta melanggeng- kan mitos agensi mahasiswa dalam perubahan struktural secara khusus. Kecenderungan itu, selain mengurung gerakan mahasiswa dalam tempurung masa lalu, juga terbukti menyebabkan kegagalan mengevaluasi anatomi kekuasaan secara komprehensif, sehingga tidak dapat meng- antisipasi celah-celah gerakan saat itu jika ditransposisikan ke dalam konteks masa kini. Selain mengevaluasi persepsi umum di kalangan gerakan mahasiswa kontemporer mengenai Reformasi 1998, tulisan ini menelisik lebih lanjut kebangkitan mitos mahasiswa sebagai agen perubah- an serta dampak dan relevansinya terhadap aktivisme mahasiswa masa kini, khususnya dalam menghadapi era disrupsi dan proliferasi ranah publik digital. Kata Kunci: agen perubahan, gerakan mahasiswa, mitos, Orde Baru, ranah digital N * Penulis mengucapkan terima kasih kepada Andre C Pramaditya atas diskusi, masukan, dan koreksi untuk draft artikel ini, serta Arivia Tri Dara Yuliestiana, MSi yang memberi komentar konstruktif untuk pengem- bangan artikel ini 1 Dua tinjauan sejarah komprehensif mengenai narasi ter- sebut antara lain dalam artikel Onghokham, “Angkatan Muda dalam Sejarah dan Politik,” dalam Prisma, Vol. 6, No. 12, 1977, hal. 15-24 dan artikel Sudjarwo, “Potret Diri Pemuda dalam Revolusi Kita,” dalam Prisma Vol. 10, No. 2, 1981, hal. 21-32. Lihat juga, Prisma, Vol. 30, No. 2, 2011. 2 Benedict R’O Gorman Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2018), hal. 7-9. 3 Abdul Gafur, “Peranan & Prospek Mahasiswa Indonesia di Masa Depan,” dalam Prisma Vol. 2, No. 2, 1973, hal. 37-38. 4 Edward Aspinall, Opposing Suharto:Compromise, Resis- tance, and Regime Change in Indonesia (Stanford: Stan- ford University Press, 2005), hal. 221-234. Chris Wibisana
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” 55 T O P I K T O P I K lanjutnya digunakan untuk membangun kom- pleks itu adalah bahasa kemartiran dengan ditembaknya mahasiswa Universitas Trisakti, yang selalu dianggap sebagai golongan “elite” penikmat privilese, sebagai penanda utama. Penghormatan yang diberikan Presiden BJ Habibie dengan menyebut mahasiswa korban penembakan itu sebagai “Pahlawan Reforma- si” menciptakan suatu ironi sekaligus oksimo- ron, karena “reformasi” seharusnya berdeno- tasi perubahan bertahap dan transisi damai tanpa menuntut korban. Akan tetapi, dengan mengacu preseden awal kemerdekaan dan awal Orde Baru, kekerasan agaknya diterima sebagai komponen integral dalam perubahan sejarah.5 Dilengkapi kisah-kisah penghilang- an paksa dan teror terhadap aktivis prodemo- krasi, kian lengkaplah bagi kompleks hero- worship itu menjadi monumen untuk generasi berikutnya, sekaligus pintu menuju labirin enigmatik tentang teka-teki arsitek pembu- nuhan dan penghilangan paksa itu. Seolah tidak jemu, memori Reformasi 1998—baik tragedi maupun romantismenya—selalu di- hadirkan ketika mahasiswa berdemonstrasi atau ikut serta menjadi pendukung ataupun penggembira dalam aksi-aksi gerakan akar rumput populis. Sampai batas tertentu, me- mori tersebut juga menjadi kredensial sege- lintir “penyintas” reformasi yang menuntut ini-itu ke pemerintah dengan mengatasnama- kan diri sebagai korban Reformasi 1998.6 Dengan peran sebagai “patron” gerakan akar rumput dan monumen kemartiran, Refor- masi 1998 bermetamorfosis selama 25 tahun menjadi sebuah episode “sakral” dengan ge- rakan mahasiswa sebagai ujung tombak yang membongkar kejahatan Orde Baru.7 Dari sa- nalah mengalir ungkapan heroisme yang me- nuntut mahasiswa bergerak ketika pemerin- tah menyalahgunakan kekuasaan. Mahasiswa diharapkan tidak sekadar “melipat tangan dan berdiam di menara gading,” tetapi berani menyatakan perlawanan terhadap status quo dengan menjadi penyambung lidah rakyat. Kalaupun perubahan yang terjadi bukan dari prakarsa mahasiswa, mahasiswa diharapkan dapat “mengawal” atau “mengawasi” perubah- an agar rakyat jangan sampai dikorbankan. Secara singkat, mahasiswa dan gerakannya dianggap mengemban agensi dalam perubah- an kolosal sepanjang sejarah bangsa. Mitos yang berkembang dalam trajektori itu pada akhirnya mereduksi “mahasiswa” menjadi penggerak perubahan tanpa harus menjadi konseptor yang mempunyai visi ke mana perubahan itu diarahkan. Mahasiswa ditarik dari lokus akademis dan lingkungan intelektual menjadi agen sosial-politik belaka, yang peranannya diukur menurut aspek kuan- titatif (jumlah massa) dan bukan menurut as- pek kualitatif (orisinalitas gagasan, kebaruan ide, dan terobosan konseptual). Seandainya perubahan gagal terjadi dan sang mahasiswa memilih menjadi politikus, bekal “idealisme” itu masih dapat didaur ulang sebagai mate- ri mendulang suara, dengan klaim bahwa keputusannya berpolitik adalah regenerasi, penyegaran politik, sekaligus bukti komit- men mengadakan “perubahan dari dalam”.8 Namun, yang sering terjadi kemudian adalah sang politikus justru berubah di dalam akibat tuntutan partai untuk terlibat dalam klik, ke- pentingan, patronase, dan siasat memperta- hankan kekuasaan partai atau golongannya. Residu dari epos antiklimaks tersebut adalah mitos mahasiswa sebagai agen perubahan yang diulang-ulang setiap kali diadakan acara orientasi mahasiswa baru sehingga menjadi sebuah kebenaran tersendiri,9 meski gerak- an mahasiswa 1998 terbukti memiliki celah yang melapangkan jalan kuasa modal untuk menghentikan demokratisasi, melahirkan demokrasi prematur, serta memungkinkan faksi iliberal-reaksioner mengooptasi massa dengan motif konservatisme agama,10 sekali­ 5 James T Siegel, “Early Thoughts on the Violence of May 13 and 14, 1998 in Jakarta,” dalam Indonesia, No. 66, Ok- tober 1998, hal. 76-77. 6 Doreen Lee, “The Legacies of Reformasi Movement in Indonesia,” dalam Current History, Vol. 117, No. 800, September 2018, hal. 222. 7 Intan Paramaditha, “Praktik Kultural Anak Muda: Nara- si 1998 dan Eksperimen,” dalam Prisma, Vol. 30, No. 2, 2011, hal. 87. 8 Lee, The Legacies of Reformasi...”, hal. 223. 9 Suryadi Radjab dan Samuel Gultom, “Orde Baru dan Mi- tos Gerakan Mahasiswa,” dalam Prisma, Vol. 39, No. 2, 2020, hal. 131-137. 10 Vedi R Hadiz, “The ‘Floating’ Ummah in the Fall of ‘Ahok’ in Indonesia,” dalam Trans-Regional and-Natio- Chris Wibisana, Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan Chris Wibisana
56 Prisma, Vol, 42, No. 2, 2023 T O P I K T O P I K gus membuyarkan seluruh cita-cita Reformasi 1998. Tentu, implikasi yang lahir akibat celah- celah dalam gerakan mahasiswa tersebut belum atau bahkan tak pernah diantisipasi sebelumnya. Perulangan tanpa evaluasi dan autokritik menyeluruh terhadap “warisan 1998” mengakibatkan gerakan mahasiswa kontemporer terperangkap “Kutukan Sisifus” yang meresonansikan kegagalan aktivisme borjuis-liberal11 maupun pergerakan progresif akibat kontradiksi internal serta faktor eks- ternal yang tidak dimitigasi.12 Namun, perlu dicatat bahwa kritik yang keras dan radikal justru menciptakan mitos baru karena perta- ma, kritik tidak berhasil menjangkau lingkup lebih luas; dan kedua, Orde Baru berhasil menjaga mitos tetap hidup dan membawa pengaruh kontraproduktif terhadap gerakan mahasiswa.13 Dengan latar tersebut, tulisan ini berupaya menyediakan analisis pendahu- luan (preliminary inquiry) dalam dua bagian. Bagian pertama mengulas persepsi gerakan mahasiswa kontemporer terhadap Reformasi 1998 yang memungkinkan mitos agen peru- bahan tetap hidup dan berpengaruh hingga kini, sedangkan bagian kedua akan mengana- lisis relevansi, dampak, serta proyeksi masa depan mitos-mitos tersebut terhadap gerakan mahasiswa kontemporer, khususnya dalam menghadapi era disrupsi pascapandemi, tan- tangan multidimensional di masa depan, ser- ta proliferasi ruang publik berbasis digital. Sebagai disclaimer, tulisan ini tidak mewakili pandangan dan/atau kepentingan organisa- si mahasiswa manapun dan secara terbatas dimaksudkan sebagai refleksi kritis dan in- terpretasi alternatif tentang Reformasi 1998 sesudah berlalu 25 tahun lamanya. Tiga Persepsi Reformasi Reformasi Sebagai Replikasi Angkatan Terdahulu Persepsi pertama yang dibangun gerakan mahasiswa kontemporer terhadap Reforma- si 1998 adalah sebagai replikasi angkatan- angkatan terdahulu, mulai “Angkatan 1966”, “Angkatan 1974”, hingga “Angkatan 1978.” Angkatan 1966 menjadi basis mitos gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral (moral for- ce) yang menjadi “kaki ketiga” di samping ke- kuatan bersenjata (armed force) dan kekuatan politik (political force)14 serta mewakili lapis masyarakat yang “terdidik dan demokratis” sehingga cocok menjadi rekan sipil Angkatan Darat yang mengonsolidasi kekuasaan politik- nya.15 Angkatan 1974 memperkuat mitos itu dengan melukiskan gerakan mahasiswa se- bagai parameter politik yang sensitif terhadap penyalahgunaan kekuasaan, mulai dari tindak pidana korupsi yang tidak ditindak hingga ske- ma penanaman kapital asing yang dianggap melemahkan perekonomian domestik.16 Se- 14 Vince Boudreau, Resisting Dictatorship: Repression and Protest in Southeast Asia (Cambridge: Cambridge Uni- versity Press, 2004), hal. 109. Uraian perspektif pelaku dapat dilihat dalam Yozar Anwar, Angkatan 66: Sebu- ah Catatan Harian Mahasiswa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1981) dan Soe Hok Gie, Catatan Seorang De- monstran (Jakarta: LP3ES, 2015 [1983]), hal. 123-162 . Uraian kritis dan evaluatif dapat ditinjau dalam artikel Arief Budiman, “The Student Movement in Indonesia: A Study of the Relationship between Culture and Struc- ture,” dalam Asian Survey Vol. 18, No. 6, Juni 1978, hal. 609-625. 15 Max Lane, Unfinished Nation: Indonesia Before and After Suharto (Singapore: Talisman Publishing, 2008), hal. 61-62. 16 Stephanie Sapiie, “Intellectual Identity and Student Dissent in Indonesia in the 1970s,” dalam Ben Dorfman (ed.), Dissent! Refracted: Historics, Aesthetics and Cultu- re of Dissent (Bern: Peter Lang AG, 2016), hal. 131-132. nal Studies of Southeast Asia 7, No. 2, November 2019, hal. 271-290. 11 Polemik antara Abdul Mughis Mudhoffir dan Coen Husain Pontoh mengenai aktivisme borjuis-liberal dapat menjelaskan persoalan ini. Artikel pertama Ab- dul Mughis Mudhoffir dimuat Project Multatuli pada 9 Juni 2021 bertajuk “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi?” (projectmultatuli.org/aktivisme-borjuis- kelas-menengah-reformis-gagal/) dan tanggapan Coen Husain Pontoh dimuat Harian IndoProgress pada 16 Juni 2021 bertajuk “Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdul Mughis Mudhofir” (indopro- gress.com/2021/06/menginvestigasi-kelas-menengah- tanggapan-untuk-abdil-mughis-mudhoffir) 12 Lihat, Eduard Lazarus, “The Indonesian Left Is Stuck in an Anti-Communist Hangover,” dalam Jacobin Maga- zine https://jacobin.com/2021/04/indonesian-left-anti- communism-omnibus-law-protest 13 Radjab dan Gultom, “Orde Baru dan Mitos...”, hal. 139. Chris Wibisana
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” 57 T O P I K T O P I K Chris Wibisana, Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan mentara itu, Angkatan 1978 memuncaki mitos gerakan mahasiswa sebagai “anak kandung” demokrasi yang berhadap-hadapan dengan arus balik otoritarianisme, dengan tindakan represif pertamanya adalah “mengembalikan iklim akademik” melalui kebijakan Normalisa- si Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), meski imple- mentasinya adalah memberangus aktivisme mahasiswa di dalam kampus serta menjadi salah satu senjata utama proyek depolitisasi dan penciptaan massa-mengambang (floating mass) di Indonesia.17 Peran sejarah ketiga angkatan tersebut, berikut mitos-mitos yang dibangun, berulang kali dirujuk sebagai legitimasi historis, ter- utama Angkatan 1966 yang lebih populer di- bandingkan dua angkatan setelahnya, yang secara implisit menandakan kehendak pem- buktian eksistensi gerakan mahasiswa yang berkesinambungan kendati berada di bawah rezim yang berbeda.18 Meski berbeda kon- teks, ketiga angkatan tersebut proaktif me- nyuarakan isu-isu di bidang sosial-politik yang berkembang di luar kampus. Ketiga angkatan tersebut pun diperhitungkan sebagai ancam- an manifes bagi rezim berkuasa sehingga re- presi dengan kekerasan untuk membubarkan demonstrasi maupun menghancurkan perge- rakan menjadi jawaban penguasa kepada me- reka, sebagai lazimnya gerakan mahasiswa di negeri-negeri Dunia Ketiga.19 Sebagai replikasi “angkatan-angkatan” pendahulu, Reformasi 1998 dipersepsikan sebagai senyawa keunggulan masing-masing angkatan dalam membangun tujuan bersama untuk memaksa Soeharto mengundurkan diri dan melikuidasi Orde Baru, tanpa menutup fakta bahwa reformasi juga mempunyai para- lelisme ideologis dengan para pendahulunya. Benang merah Reformasi 1998 mengandung antagonisme pekat terhadap kediktatoran, autokrasi, serta kepemimpinan patrimonial yang kongruen dengan semangat Angkatan 1966,20 sekaligus menjadi motivasi bagi gerak- an masa kini mencegah lahirnya tokoh atau pemimpin. Dalam satu tarikan napas, antago- nisme itu dibarengi komitmen mewujudkan tatanan masyarakat demokratis dan karena itu reformasi dianggap sebagai martir gerak- an prodemokrasi di Indonesia yang mulai bangkit dan menemukan bentuk sepanjang dasawarsa 1990-an.21 Satu hal yang harus di- garisbawahi, mengingat karakteristik gerak- an mahasiswa yang mengalami regenerasi terlalu cepat sebelum mahasiswa memasuki pasar tenaga kerja,22 visi masyarakat demo- kratis yang diusung gerakan mahasiswa sejak 1998 hingga hari ini tak pernah mempunyai proyeksi dengan indikator konkret, baik seca- ra kuantitatif maupun kualitatif. Selain karena faktor umur gerakan, tun- tutan untuk menjatuhkan Soeharto dan mem- percepat pemilihan umum bergaung lebih keras dan lebih populer, sehingga gerakan mahasiswa tidak mempersiapkan diri untuk memetakan dan membuat pengayaan menge- nai konsep demokrasi yang orisinal dan, lebih penting lagi, bisa diimplementasikan menurut tata cara reformis. Ketiadaan konsep tersebut mengakibatkan gerakan mahasiswa cende- rung berpuas diri dengan pelonggaran terba- tas dan perubahan-perubahan aras tampak, seperti kebebasan pers melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan kebebasan membentuk partai politik lewat penerbitan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, meski perubahan-perubahan semacam itu tidak berkontribusi dan memiliki signifi- kansi positif lebih jauh daripada simbolisme prosedural. Dampak langsung persepsi keberlanjut- an yang menghubungkan Reformasi sebagai penerus angkatan-angkatan mahasiswa ter- dahulu adalah pertanyaan spontan tentang daya tawar mahasiswa di hadapan kekuasaan. Gerakan mahasiswa kontemporer percaya 20 Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indo- nesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966- 1974 (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 129-133. 21 Lihat, Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability (Boulder: Westview Press, 2004). 22 Radjab dan Gultom, “Orde Baru dan Mitos...”, hal. 140- 141. 17 Sapiie, “Intellectual Identity and Student...”, hal. 134. 18 Lihat, Yatun Maryatika Sastramidjaja, “Playing Politics: Power, Memory, and Agency in the Making of the Indo- nesian Student Movement.” Disertasi PhD, University of Amsterdam, 2016. 19 Philip G. Altbach, “Perspectives on Student Political Activism,” dalam Comparative Education, Vol. 25, No. 1, 1989, hal. 100-101. Chris Wibisana
58 Prisma, Vol, 42, No. 2, 2023 T O P I K T O P I K punya daya tawar dan kedudukan berupa konstanta yang tidak terpengaruh perubahan politik, mengingat klaim “kekuatan moral” dianggap terpisah dari tarik-menarik politik. Masalah yang segera tampak dari klaim itu adalah kenyataan bahwa “kekuatan moral” adalah fabrikasi penguasa,23 tidak dilahirkan dalam ruang hampa dan tidak terkomposisi secara organik. Angkatan 1966 memiliki daya tawar yang tinggi di hadapan kekuasaan ka- rena legitimasi Angkatan Darat yang berada di belakangnya,24 tidak lahir dari ruang vakum politik karena semua jargon yang diusung berasal dari kondisi sosial-politik waktu itu. Di sana, klaim “kekuatan moral” beroperasi sebagai antitesis “kekuatan politik” yang ber- kuasa secara absolut. Situasi itu cukup berbeda dengan gerak- an mahasiswa tahun 1998, karena daya tawar gerakan mahasiswa tidak lagi sama akibat transformasi arsitektur politik Orde Baru. Se- bagai “kekuatan moral,” gerakan mahasiswa 1998 tidak terlalu relevan karena posisinya se- bagai pemrakarsa pada akhirnya tersisih dan mahasiswa hanya menjadi komponen minor saat ia berintegrasi dengan kekuatan sosial lebih besar dengan aspirasi serupa.25 Sesudah momentum reformasi berlalu, gerakan maha- siswa tidak lagi eksplisit berurusan dengan moralitas kekuasaan, meski fungsi kritik so- sial terus dijalankan. Dengan fakta-fakta itu, doktrin “kekuatan moral” yang menjadi basis mitos bahwa daya tawar gerakan mahasiswa selalu konstan di hadapan penguasa sebenar- nya merupakan mitos lain karena moralitas dalam politik tidak pernah memiliki batasan yang baku dan karenanya berubah mengikuti karakter kekuasaan. Doktrin tersebut pun terbukti melemah ketika kredibilitas gerakan mahasiswa sebagai “wakil suara rakyat” di- gugat dan dipertanyakan. Reformasi Sebagai Kebangkitan Politik Kampus Persepsi kedua yang dibangun gerakan ma- hasiswa kontemporer terhadap Reformasi 1998 adalah sebagai momentum kebangkit- an politik kampus, sesudah selama 20 tahun dibatasi produk-produk derivatif kebijakan NKK/BKK. “Roh” yang menghidupi kebang- kitan itu, sebagaimana telah diurai, adalah legitimasi historis yang menjadikan setiap gejala sosial-ekonomi yang dinilai cukup po- tensial memicu perubahan—dalam studi ka- sus Reformasi adalah Krisis Moneter Asia Tenggara 1997—sebagai suatu momentum pembuktian eksistensi mahasiswa, sebagai- mana di awal 1970-an pernah dilancarkan aksi “Mahasiswa Menggugat” dan di akhir 1970-an pernah terbit “Buku Putih” oleh ma- hasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB).26 Keduanya dilatarbelakangi gejala deteriorasi mutu demokrasi dan pemborosan anggaran negara dalam kaitan dengan proyek Miniatur Indonesia Indah yang diprakarsai Siti Harti- nah Soeharto. Satu-satunya perbedaan cukup tajam antara gerakan di tahun 1970-an dan 1998 adalah kenyataan bahwa gerakan maha- siswa 1998 menciptakan preseden baru bah- wa mahasiswa dapat menunjukkan eksistensi, menggalang demonstrasi, hingga memimpin massa, meski sebagai kelas sosial berasal dari ruang hampa dan steril. Masalah latar kelas sosial itulah yang menjadi kunci elemen ge- rakan sosial lain untuk menggugat dan mem- pertanyakan kredibilitas mahasiswa sebagai “wakil suara rakyat.” Pada 2022, mahasiswa sebagai bagian dari kategori orang muda (rentang usia 16–30 ta- hun) menempati posisi sebagai bagian dari 10,97 persen orang muda Indonesia yang mengakses pendidikan hingga jenjang per- guruan tinggi, dengan bagian terbesar tetap pada kelompok 20 persen ekonomi teratas.27 Dibandingkan dengan jumlah penduduk In- donesia, mahasiswa adalah bagian dari 9,67 persen penduduk (breakdown 13,03% pen- duduk di kawasan perkotaan dan 5,17% pen- duduk di kawasan perdesaan) yang dapat mengakses pendidikan tinggi. Selain menan- 23 Radjab dan Gultom, “Orde Baru dan Mitos....”, hal. 142. 24 Raillon, Politik dan Ideologi..., hal. 12-15, 37-38. 25 Aspinall, Opposing Suharto...., hal. 221-229. 26 Lihat, Dewan Mahasiswa ITB, Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 [dicetak terbatas] (Bandung: Dewan Mahasiswa ITB, 1978). 27 Budi Santoso, Andhie Surya Mustari, dan Yeni Rachma- wati (eds.), Statistik Pemuda Indonesia 2022 (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2022), hal. 58-59. Chris Wibisana

Tài liệu liên quan

x
Báo cáo lỗi download
Nội dung báo cáo



Chất lượng file Download bị lỗi:
Họ tên:
Email:
Bình luận
Trong quá trình tải gặp lỗi, sự cố,.. hoặc có thắc mắc gì vui lòng để lại bình luận dưới đây. Xin cảm ơn.