Nội dung text Perjanjian Internasional.pdf
bagian dari prinsip-prinsip hukum umum (general principle of law).3 Prinsip-prinsip yang melandasi perjanjian internasional dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Jus Cogens 2. Kebebasan Berkontrak (Free Consent) 3. Itikad Baik (Good Faith) 4. Pacta Sunt Servanda 5. Perjanjian hanya berlaku bagi para pihak dan tidak berlaku bagi pihak ketiga (Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt) 6. Non-Retroactive 7. Rebus sic stantibus 8. Selain itu terdapat pula prinsip-prinsip pembuatan serta penerapan perjanjian internasional yang merupakan salah satu sumber Hukum Internasional a. Sejarah Pembentukan VCLT 1969 Vienna Convention on the Law of the Treaties (VCLT) 1969 merupakan traktat yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional antar negara. VCLT 1969 merupakan hasil dari UN Conference on the Law of Treaties tahun 1968 yang mulai berlaku (entry into force) 27 Januari 1980, mengantisipasi konvensi ini, Indonesia telah mengundangkannya di Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. VCLT 1969 ini telah menjadi awal dimulainya era baru dalam perjanjian internasional. Ketentuan dalam VCLT 1969 diantaranya adalah aturan-aturan mengenai apakah instrumen dalam suatu perjanjian, bagaimana pembentukan perjanjian, pemberlakuan, amandemen, berakhirnya, serta berlakunya secara umum. VCLT pun tidak terlalu memperhatikan dan mengatur hal yang substantif dari suatu perjanjian seperti hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian, melainkan hal ini diserahkan pada negosiasi antar negara.4 Pada tahun 1947, Majelis Umum PBB membentuk International Law Commission dengan tujuan untuk mempromosikan perkembangan yang sangat progresif dari hukum internasional dan. Pada bahasan sidang pertama di tahun 1949, ILC membawa topik perjanjian internasional sebagai prioritas untuk dikodifikasikan. ILC mengadopsi draf final mengenai hal ini pada tahun 1966. Konferensi PBB kemudian mempertimbangkan Vienna Convention pada tahun 1968 dan 3 Elfia Farida, “Kewajiban Negara Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional yang Telah Diratifikasi”, Administrative Law & Governance Journal 3, Issue 1, (March 2020): 186. 4 Anthony Aust, Op. Cit., 6.
1969 yang setelahnya Vienna Convention diadopsi pada 22 Mei 1969 dan mulai berlaku pada 27 Januari 1980. Pada akhir 2006, tercatat adanya 108 pihak dari 193 negara yang kini tercatat.5 b. Ruang Lingkup dari VCLT 1969 Mengenai ruang lingkup VCLT 1969 sebagaimana disebutkan pada Article 1 VCLT 1969 bahwa traktat ini hanya berlaku untuk perjanjian antar negara dan VCLT tidak mencakup semua hal yang berkaitan dengan perjanjian.6 Namun sebagaimana disebutkan sebelumnya, traktat ini membenarkan adanya organisasi internasional sebagai instrumen konstituen, berdasarkan Article 5 VCLT 1969 maka dari perjanjian yang diadopsi oleh organisasi internasional mencakup negara-negara, tetapi hal ini tanpa mengurangi aturan organisasi internasional yang relevan.7 Kemudian berdasarkan definisi perjanjian internasional dalam Article 2 ayat (1) (a) VCLT, maka ruang lingkup perjanjian internasional hanya mencakup yang dalam bentuk tertulis, hal ini untuk alasan kejelasan dan kesederhanaan sehingga tidak termasuk untuk perjanjian lisan. Namun berdasarkan Article 3 (a) VCLT, traktat ini tidak akan mempengaruhi kekuatan hukum ataupun penerapannya kepada mereka, yang mana mereka tetap tunduk di bawah hukum internasional terlepas dari traktat ini, sebagai contoh adalah hukum kebiasaan. Saat ini, kesepakatan lisan antar negara tidak diketahui walaupun ada namun sangat jarang. Bahkan hukum US pun kini mengharuskan perjanjian lisan dikurangi menjadi perjanjian tertulis.8 Kemudian, pembatasan ruang lingkup VCLT juga terdapat pada Article 4 bahwa traktat ini berlaku non-retroaktif. Artinya, cakupan VCLT hanya berlaku pada perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara setelah VCLT berlaku untuk negara-negara tersebut. Pasal ini menetapkan, bahwa aturan non-retroaktif tanpa merugikan pihak manapun terhadap penerapan aturan Konvensi yang mana perjanjian akan tunduk di bawah hukum internasional terlepas dari Konvensi. Dengan demikian, aturan-aturan Konvensi yang mencerminkan hukum kebiasaan internasional berlaku (tetapi sebagai hukum) untuk perjanjian yang dibuat sebelum berlakunya Konvensi, atau disimpulkan setelahnya tetapi sebelum Konvensi mulai berlaku bagi para pihak dalam perjanjian tersebut.9 5 Anthony Aust, Loc.Cit. 6 Ibid., 8. 7 Ibid., 8-9. 8 Ibid., 9. 9 Ibid.
Mengenai batasan ruang lingkup VCLT lainnya terdapat pada Article 73 bahwa untuk menghindari keragu-raguan, ditegaskan bahwa VCLT tidak boleh mengesampingkan pertanyaan apapun yang mungkin timbul mengenai suatu perjanjian dari suksesi negara, tanggungjawab internasional suatu negara (dalam hal pelanggaran perjanjian), serta pecahnya permusuhan antar negara. Dikarenakan VCLT tidak mengatur terkait hal ini maka sebagian besar diatur oleh hukum kebiasaan internasional (customary international law).10 Dengan demikian dibentuknya VCLT merupakan hasil dari adanya kekhawatiran masyarakat internasional terkait peran penting dan kekuatan perjanjian internasional dalam hubungan internasional, selain itu sebagai salah satu sumber hukum internasional yang utama maka lahir kesadaran terkait perlunya diadakan kodifikasi hukum internasional.11 MATERI II: Proses dan Prosedur Pembentukan Perjanjian Internasional 1. Subjek Hukum Internasional dalam Perjanjian Internasional Subjek hukum internasional dapat dikatakan sebagai pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum internasional, dengan demikian subjek hukum yang berada di bawah ketetapan hukum internasional merupakan personalitas hukum yang mampu untuk melaksanakan hak dan kewajiban tersebut.12 Pandangan klasik dan pada praktiknya menunjukan bahwa subjek hukum internasional hanya terbatas pada negara telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu yaitu dikenal subjek hukum internasional non negara/non- state actors. Berdasarkan pengertian mengenai subjek hukum internasional dapat ditarik pembentuk konsep subjek hukum internasional yaitu pertama entitas sebagai pemegang, pengemban, pengampu hak dan kewajiban, kedua adanya kemampuan hukum (legal capacity), dan yang terakhir adalah hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Konsep subjek hukum ini berkaitan dengan personalitas hukum (legal personality) sebuah subjek hukum internasional. Pada saat sebuah subjek hukum memiliki kapasitas/kemampuan hukum internasional (internasional capacity) maka subjek hukum tersebut memiliki personal hukum internasional (internasional legal capacity). 10 Ibid., 10. 11 Sindy Fathan, Op. Cit., 96. 12 Melza Nova Arisya, “Kedudukan Legal Personality Uni Eropa dengan ASEAN Sebagai Organisasi Internasional”, Universitas Sumatera Utara, (2019), 14.