Nội dung text Ilana Tan - Autumn in Paris.pdf
Autumn in Paris Ilana Tan
Merci de lire ce livre Thank YOU for reading this book
Prolog JALANAN sepi. Langit gelap. Angin musim gugur bertiup kencang. Ia merapatkan jaket yang dikenakannya, namun tubuhnya tetap saja menggigil. Bukan karena angin, karena saat ini ia sama sekali tidak bisa merasakan apa pun. Sepertinya saraf-sarafnya sudah tidak berfungsi. Ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa bersuara, dan tidak bisa merasakan apa-apa. Kecuali rasa sakit di hatinya. Ia bisa merasakan yang satu itu. Sakit sekali.... Butuh tenaga besar untuk menyeret kakinya dan maju selangkah. Sebelah tangannya terangkat ke dada, mencengkeram bagian depan jaket. Tangan yang lain terjulur ke depan dan mencengkeram pagar besi jembatan. Pagar besi itu seharusnya terasa dingin di tangannya yang telanjang, tapi nyatanya ia tidak merasakan apa pun walaupun ia mencengkeram pagar besi itu sampai buku-buku jarinya memutih. Matanya menatap kosong ke bawah. Permukaan sungai terlihat tenang seperti kaca besar berwarna hitam yang memantulkan cahaya dari lampu-lampu di tepi jalan. Air sungai itu pasti dingin sekali. Ia pasti akan mati kedinginan bila terjun ke sungai itu. Mati beku. Ia hanya perlu membiarkan dirinya jatuh. Setelah itu seluruh tubuhnya akan membeku. Rasa sakit ini juga akan membeku. Ia tidak akan merasakannya lagi.
Satu RUANGAN itu sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Semua lampu sudah dimatikan, kecuali yang terdapat di sudut ruangan dekat jendela. Lampu di sana masih menyala karena masih ada seseorang di sana. Gadis yang menempati meja di dekat jendela itu sebenarnya tidak benar-benar membutuhkan penerangan karena ia tidak sedang bekerja. Tara Dupont duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap lekat-lekat ponsel yang tergeletak di meja kerjanya. Ia menggigit bibir dan tidak habis pikir kenapa ponsel imut dengan berbagai macam hiasan gantung itu tidak berdering, tidak berkelap-kelip, tidak bergetar, tidak melakukan apa pun! Ia memutar kursi menghadap jendela besar dan memandang ke bawah, memerhatikan mobil- mobil yang berseliweran di jalan raya kota Paris dengan tatapan menerawang. Langit sudah gelap. Ia melirik jam tangan dan mendesah. Jam tujuh lewat. Dengan sekali sentakan ia memutar kembali kursinya menghadap meja kerja. “Ke mana saja kau?” desis Tara sambil mengetuk-ngetuk ponselnya dengan kukunya yang dicat oranye. “Kau bicara dengan ponsel?” Tara mengangkat wajah dan menoleh. Élise Lavoie yang baru masuk ke ruangan tersenyum kepadanya. Élise manis yang berambut pirang emas sebahu, bermata hijau, dan berhidung berbintik-bintik itu berusia 29 tahun, beberapa tahun lebih tua daripada Tara, tapi secara fisik wanita itu tidak terlihat seperti wanita Eropa seusianya. Perawakannya kurus, kecil, dan dengan wajah seperti gadis remaja. Di satu sisi Élise menyukai kenyataan itu—siapa yang tidak suka punya wajah awet muda? Tapi di sisi lain ia dongkol setengah mati kalau ada orang yang menganggap remeh dirinya karena berpikir ia masih remaja ingusan. “Sudah selesai siaran?” tanya Tara ringan sambil mencondongkan tubuh ke depan, menumpukan kedua siku di meja dan bertopang dagu. Élise mengangguk dan berjalan ke meja kerjanya yang persis di depan meja tara. “Bukankah kau sudah selesai siaran sejak...,” ia melirik jam dinding, “satu setengah jam yang lalu?” tanya Élise dengan alis terangkat. Tara mendesah. “Memang,” jawabnya lemas. Ia menunduk dan menyandarkan kening di meja, lalu mendesah keras sekali lagi. Mereka berdua sama-sama penyiar di salah satu stasiun radio paling populer di Paris. Élise lebih senior daripada tara dan siaran utama yang ditanganinya adalah Je me souviens1 ..., yaitu acara yang membacakan surat-surat dari para pendengar, sementara Tara membawakan program lagu- lagu populer dan tangga lagu mingguan. 1 Aku mengenang