Tiêu đề 45.docx ✅

Lalu, tak berselang lama aku mendengar pintu kamar terbuka. Sontak aku dan Michelle sama-sama menoleh ke belakang, ke arah pintu kamar itu. Dengan santainya Jessi keluar dari sana, mengibas rambutnya yang masih sedikit berantakan dengan senyum lebar, seperti puas. Tanganku langsung mengepal kuat. Kenapa dia bodoh sekali? “Ohhh… jadi kamu penghuni kamar itu, ya, Kak? Belum pindah? Aduh, maaf,” katanya, menghindari tatapanku. “Aku datengnya kecepetan sih, ya,” gumamnya lagi seakan untuk dirinya sendiri. “E-ehh… Enggak…” Mati aku! “Kenapa?” tanya Jessi setelah berdiri di sampingku. Dia berdiri dengan wajah tanpa dosa, menatap gadis kecil di hadapanku seperti penuh tanya. “Gak pa-pa,” kataku, lalu mendorong pundaknya. “Kamu nyusul Freya di rooftop aja. Takutnya dia nyariin kamu nanti. Buruan!” “Iya, iya!” Jessi langsung melenggang. Michelle sempat menatap punggung Jessi sampai menaiki tangga, lalu dia kembali menatapku. “Ya, udah, Kak. Aku datengnya juga kecepetan ini. Maaf, ya. Aku tunggu di tempat lain aj-” “Eh, enggak.” Aku menyela ucapannya. “Emm… gimana, ya. Jangan kemana-mana pokoknya.” Aku bingung setengah mati. Masa iya Michelle aku persilahkan masuk tapi kamar masih kondisinya seperti itu? Bahkan aku nggak tahu apakah ada ‘ceceran’ sisa pertempuran tadi di kasur. Kalau dia sampai melihat, bagaimana reaksinya? Kalau Vivi sampai tahu, bagaimana nasibku? Aku berpikir cepat, memutar otak sebisanya. “Gini aja… kamu tunggu di rooftop dulu sambil aku beresin kamarnya, gimana?” “Di rooftop?” Michelle menatapku. Kedua alisnya bertaut. Bibirnya sedikit terbuka. Untuk sedetik aku sempat terpana dengan bibir itu. Gila! “Emang kosan ini ada rooftopnya?” tanyanya sambil melirik ke arahku dengan alis terangkat, seolah tidak percaya.