Nội dung text 98. Jessi, Devoir.docx
Sontak Dirga melirik sinis ke Jessi, membetulkan kacamatanya, lalu terkekeh getir. “Kayaknya bener omongan lo. Gue cuma males aja.” “Lo gak denger, tadi senior bilang kalo ada yang nggak ngumpulin bakal berimbas ke kelompok kita?” Cibirannya belom selesai ternyata. “Denger.” “Jangan ngerepotin orang lain karena kemalesan lo itu!” Jessi langsung beranjak dari duduknya, menggendong tasnya dengan asal. Mood-nya sudah rusak. Ternyata benar, lebih baik tak peduli dengan orang lain daripada harus mengorbankan urusannya sendiri. Tapi, Jessi berhenti ketika sampai di lorong kelas. Pikirannya mulai berkecamuk. Masa orientasi hanya tiga hari dan Jessi tak ingin ada masalah sedikitpun. Maka dengan malas dia kembali lagi ke dalam kelas, menghampiri Dirga—yang masih meringkasi barang- barangnya—dengan cepat. Mukanya ditekuk. Terlihat begitu kesal. “Gue bantu kerjain. Gue gak mau tiga hari ini jadi kacau.” Dirga mengangkat wajahnya, menatap Jessi dengan malas. “Gak usah. Gak perlu.” “Ck!” Mata Jessi mengerling. Kedua tangannya dilipat di depan dada. “Udah, gue bantu ngerjainnya. Mau dimana?” “Gue bilang, gak usah.” Dirga kini menggendong tas punggungnya, berlalu begitu saja melewati Jessi yang masih menatapnya dengan kesal. “Jadi kayak mahasiswa lainnya aja yang gak peduli sama orang lain.” Sekali lagi dia berdecak. Dirga disusul dengan langkah kaki menghentak. Terlihat jelas dia sedang menahan emosinya yang memuncak. “Gue bantu ngerjain. Terserah. Mau di kampus kek, di caffee kek, di kosan lo juga gue gak masalah. Gue cuma gak mau tiga hari ini jadi berantakan karena lo doang.” Sekejap Dirga berhenti melangkah, lalu menatap Jessi dengan kedua alisnya bertaut. Dia sudah menahan emosinya juga. “Emang apa ngaruhnya masa orientasi ini sama lo sih? Lo takut sama omongan kakak tingkat yang bakal bikin kita susah masa perkuliahan karena salah satu tugas masa orientasinya gak dikerjain gitu?”