Content text PEMIKIRAN SUNAN KALIJAGA.pdf
FILSAFAT NUSANTARA/SEPT-2025 | GDK Page | 3 berakar dan tokoh sezamannya seperti Syekh Siti Jenar? Pertanyaan-pertanyaan ini yang akan menjadi pijakan tulisan ini untuk menunjukkan bahwa filsafat Nusantara bukan sekadar bayangan dari tradisi India atau Arab, melainkan sebuah sintesis kreatif yang khas Jawa, khas Nusantara. B. Landasan Historis dan Kultural Pemikiran Sunan Kalijaga tidak dapat dilepaskan dari konteks historis dan kultural yang membentuk tanah Jawa sebelum dan sesudah kedatangan Islam. Masyarakat Jawa telah lama menjadi tempat pertemuan berbagai tradisi besar, mulai dari Hindu dan Buddha yang masuk sejak abad awal Masehi hingga animisme–dinamisme lokal yang telah tertanam jauh sebelumnya. Pertemuan ini tidak pernah bersifat meniadakan, melainkan selalu menghasilkan bentuk-bentuk sinkretis yang membentuk horizon batin masyarakat Jawa. Hal ini sesuai dengan yang ditegaskan Woodward (1989: 37) bahwa religiositas Jawa merupakan hasil “dialectical synthesis” antara kosmologi besar Hindu–Buddha dengan praktik kepercayaan rakyat yang berpusat pada roh dan kekuatan alam. Dengan kata lain, pemikiran Sunan Kalijaga hanya dapat dimengerti secara mendalam bila dilihat sebagai jawaban kreatif terhadap latar historis-kultural yang sudah sedemikian kompleks. 1. Pengaruh Hindu–Buddha dalam membentuk kesadaran kosmologis Jawa Hindu dan Buddha memberikan pengaruh besar dalam cara masyarakat Jawa memahami diri, alam, dan tujuan hidup. Konsep-konsep Hindu seperti dharma, karma, samsara, dan moksha telah membentuk horizon kosmologis di mana hidup dipandang sebagai sebuah perjalanan yang penuh keterikatan moral dan spiritual. Marsono (2018: 112) menunjukkan bahwa struktur kosmologi Hindu sangat memengaruhi pandangan Jawa tentang jagad gede (makro- kosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos), yang kemudian membentuk pandangan keseimbangan kosmos. Sementara itu, Buddhisme menanamkan jejak melalui simbolisme Borobudur sebagai mandala kosmik yang merepresentasikan jalan spiritual menuju pencerahan. Chodjim (2013: 54) menafsirkan Borobudur sebagai “ensiklopedia spiritualitas Jawa” yang mengajarkan bahwa kehidupan adalah proses bertahap dari dunia hasrat menuju kebijaksanaan tertinggi. Dengan demikian, Hindu–Buddha tidak hanya meninggalkan bangunan monumental, tetapi juga kerang-ka kesadaran kosmologis yang membentuk cara pandang masyarakat Jawa terhadap realitas. 2. Peran animisme–dinamisme dalam membangun spiritualitas lokal Sebelum masuknya Hindu–Buddha, masyarakat Jawa telah hidup dalam tradisi animisme dan dinamisme yang kuat, yakni keyakinan bahwa alam semesta dihuni roh, kekuatan